Pages

Labels

Saturday, May 14, 2011

Mengelola Ketidaksetujuan Terhadap Hasil Syuro

* syuro = rapat

(M. Anis Matta, Dalam "Menikmati Demokrasi")

"Perbedaan adalah sumber kekayaan dalam kehidupan berjamaah. Mereka
yang tidakbisa menikmati perbedaan itu dengan cara yang benar akan
kehilangan banyak sumber kekayaan. Dalam ketidaksetujuan itu sebuah
rahasia kepribadian akan tampak ke permukaan: apakah kita matang
secara tarbawi atau tidak?"
------------ --

RASANYA PERBINCANGAN kita tentang syuro tidak akan lengkap tanpa
membahas masalah yang satu ini. Apa yang harus kita lakukan seandainya
tidak menyetujui hasil syuro? Bagaimana "mengelola" ketidaksetujuan
itu?

Kenyataan seperti ini akan kita temukan dalam perjalanan dakwah dan
pergerakan kita. Dan itu lumrah saja. Karena, merupakan implikasi dari
fakta yang lebih besar, yaitu adanya perbedaan pendapat yang menjadi
ciri kehidupan majemuk.

Kita semua hadir dan berpartisipasi dalam dakwah ini dengan latar
belakang sosial dan keluarga yang berbeda, tingkat pengetahuan yang
berbeda, tingkat kematangan tarbawi yang berbeda. Walaupun proses
tarbawi berusaha menyamakan cara berpikir kita sebagai dai dengan
meletakkan manhaj dakwah yang jelas, namun dinamika personal,
organisasi, dan lingkungan strategis dakwah tetap saja akan menyisakan
celah bagi semua kemungkinan perbedaan.

Di sinilah kita memperoleh "pengalaman keikhlasan" yang baru. Tunduk
dan patuh pada sesuatu yang tidak kita setujui. Dan, taat dalam
keadaan terpaksa bukanlah pekerjaan mudah. Itulah cobaan keikhlasan
yang paling berat di sepanjang jalan dakwah dan dalam keseluruhan
pengalaman spiritual kita sebagai dai. Banyak yang berguguran dari
jalan dakwah, salah satunya karena mereka gagal mengelola
ketidaksetujuannya terhadap hasil syuro.

Jadi, apa yang harus kita lakukan seandainya suatu saat kita menjalani
"pengalaman keikhlasan" seperti itu? Pertama, marilah kita bertanya
kembali kepada diri kita, apakah pendapat kita telah terbentuk melalui
suatu "upaya ilmiah" seperti kajian perenungan, pengalaman lapangan
yang mendalam sehingga kita punya landasan yang kuat untuk
mempertahankannya? Kita harus membedakan secara ketat antara pendapat
yang lahir dari proses ilmiah yang sistematis dengan pendapat yang
sebenarnya merupakan sekedar "lintasan pikiran" yang muncul dalam
benak kita selama rapat berlangsung.

Seadainya pendapat kita hanya sekedar lintasan pikiran, sebaiknya
hindari untuk berpendapat atau hanya untuk sekedar berbicara dalam
syuro. Itu kebiasaan yang buruk dalam syuro. Namun, ngotot atas dasar
lintasan pikiran adalah kebiasaan yang jauh lebih buruk. Alangkah
menyedihkannya menyaksikan para duat yang ngotot mempertahankan
pendapatnya tanpa landasan ilmiah yang kokoh.

Tapi, seandainya pendapat kita terbangun melalui proses ilmiah yang
intens dan sistematis, mari kita belajar tawadhu. Karena, kaidah yang
diwariskan para ulama kepada kita mengatakan, "Pendapat kita memang
benar, tapi mungkin salah. Dan pendapat mereka memang salah, tapi
mungkin benar."

Kedua, marilah kita bertanya secara jujur kepada diri kita sendiri,
apakah pendapat yang kita bela itu merupakan "kebenaran objektif" atau
sebenarnya ada "obsesi jiwa" tertentu di dalam diri kita, yang kita
sadari atau tidak kita sadari, mendorong kita untuk "ngotot"?
Misalnya, ketika kita merasakan perbedaan pendapat sebagai suatu
persaingan. Sehingga, ketika pendapat kita ditolak, kita merasakannya
sebagai kekalahan. Jadi, yang kita bela adalah "obsesi jiwa" kita.
Bukan kebenaran objektif, walaupun Ă¢€"karena faktor setanĂ¢€" kita
mengatakannya demikian.

Bila yang kita bela memang obsesi jiwa, kita harus segera berhenti
memenangkan gengsi dan hawa nafsu. Segera bertaubat kepada Allah swt.
Sebab, itu adalah jebakan setan yang boleh jadi akan mengantar kita
kepada pembangkangan dan kemaksiatan. Tapi, seandainya yang kita bela
adalah kebenaran objektif dan yakin bahwa kita terbebas dari segala
bentuk obsesi jiwa semacam itu, kita harus yakin, syuro pun membela
hal yang sama. Sebab, berlaku sabda Rasulullah saw., "Umatku tidak
akan pernah bersepakat atas suatu kesesatan." Dengan begitu kita
menjadi lega dan tidak perlu ngotot mempertahankan pendapat pribadi
kita.

Ketiga, seandainya kita tetap percaya bahwa pendapat kita lebih benar
dan pendapat umum yang kemudian menjadi keputusan syuro lebih lemah
atau bahkan pilihan yang salah, hendaklah kita percaya mempertahankan
kesatuan dan keutuhan shaff jamaah dakwah jauh lebih utama dan lebih
penting dari pada sekadar memenangkan sebuah pendapat yang boleh jadi
memang lebih benar.

Karena, berkah dan pertolongan hanya turun kepada jamaah yang bersatu
padu dan utuh. Kesatuan dan keutuhan shaff jamaah bahkan jauh lebih
penting dari kemenangan yang kita raih dalam peperangan. Jadi,
seandainya kita kalah perang tapi tetap bersatu, itu jauh lebih baik
daripada kita menang tapi kemudian bercerai berai. Persaudaraan adalah
karunia Allah yang tidak tertandingi setelah iman kepada-Nya.

Seadainya kemudian pilihan syuro itu memang terbukti salah, dengan
kesatuan dan keutuhan shaff dakwah, Allah swt. dengan mudah akan
mengurangi dampak negatif dari kesalahan itu. Baik dengan mengurangi
tingkat resikonya atau menciptakan kesadaran kolektif yang baru yang
mungkin tidak akan pernah tercapai tanpa pengalaman salah seperti itu.
Bisa juga berupa mengubah jalan peristiwa kehidupan sehingga muncul
situasi baru yang memungkinkan pilihan syuro itu ditinggalkan dengan
cara yang logis, tepat waktu, dan tanpa resiko. Itulah hikmah Allah
swt. sekaligus merupakan satu dari sekian banyak rahasia ilmu-Nya.

Dengan begitu, hati kita menjadi lapang menerima pilihan syuro karena
hikmah tertentu yang mungkin hanya akan muncul setelah berlalunya
waktu. Dan, alangkah tepatnya sang waktu mengajarkan kita panorama
hikmah Ilahi di sepanjang pengalaman dakwah kita..

Keempat, sesungguhnya dalam ketidaksetujuan itu kita belajar tentang
begitu banyak makna imaniyah: tentang makna keikhlasan yang tidak
terbatas, tentang makna tajarrud dari semua hawa nafsu, tentang makna
ukhuwwah dan persatuan, tentang makna tawadhu dan kerendahan hati,
tentang cara menempatkan diri yang tepat dalam kehidupan berjamaah,
tentang cara kita memandang diri kita dan orang lain secara tepat,
tentang makna tradisi ilmiah yang kokoh dan kelapangan dada yang tidak
terbatas, tentang makna keterbatasan ilmu kita di hadapan ilmu Allah
swt yang tidak terbatas, tentang makna tsiqoh (kepercayaan) kepada
jamaah.

Jangan pernah merasa lebih besar dari jamaah atau merasa lebih cerdas
dari kebanyakan orang. Tapi, kita harus memperkokoh tradisi ilmiah
kita. Memperkokoh tradisi pemikiran dan perenungan yang mendalam. Dan
pada waktu yang sama, memperkuat daya tampung hati kita terhadap beban
perbedaan, memperkokoh kelapangan dada kita, dan kerendahan hati
terhadap begitu banyak ilmu dan rahasia serta hikmah Allah swt. yang
mungkin belum tampak di depan kita atau tersembunyi di hari-hari yang
akan datang.

Perbedaan adalah sumber kekayaan dalam kehidupan berjamaah. Mereka
yang tidak bisa menikmati perbedaan itu dengan cara yang benar akan
kehilangan banyak sumber kekayaan. Dalam ketidaksetujuan itu sebuah
rahasia kepribadian akan tampak ke permukaan: apakah kita matang
secara tarbawi atau tidak ?

0 comments:

Post a Comment